5:58 PM |
Bahan Kimia Berbahaya Dalam Makanan Kita |
Di zaman serba instant sekarang ini, untuk
mendapatkan makanan yang juga instant sangat banyak ditemukan di
supermarket. Dan harganya pun relatif murah, terjangkau untuk semua kalangan.
Mulai dari snack atau makanan ringan, soft drink yang menyegarkan, makanan
instant yang mudah dan cepat cara memasaknya. Hal ini sangat membantu kita yang
mempunyai mobilitas tinggi, di jaman yang serba canggih ini.
Kemajuan ilmu dan teknologi berkembang dengan pesat
diberbagai bidang, termasuk dalam bidang pangan, kemajuan teknologi ini membawa
dampak positif maupun negatif. Dampak positif teknologi tersebut mampu
meningkatkan kuantitas dan kualitas pangan, juga meningkatkan diversivikasi,
hygiene, sanitasi, praktis dan lebih ekonomis. Dampak negatif kemajuan
teknologi tersebut ternyata cukup besar bagi kesehatan konsumen dengan adanya
penggunaan zat aditif yang berbahaya. Zat aditif adalah bahan kimia yang
dicampurkan ke dalam makanan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas,
menambahkan rasa dan memantapkan kesegaran produk tersebut (Anonimous 2000).
Dari berbagai senyawa pembangkit citarasa yang
beredar bebas di pasaran seperti misalnya MSG, 5 nukleotida, maltol (soft
drink), dioctyl sodium sulfosuccinate (untuk susu kaleng) dan lain sebagainya,
ternyata hanya monosodium glutamat (MSG) yang banyak menimbulkan kontroversi
antara produsen dan konsumen (Winarno 2004). Namun sejauh ini, belum banyak penelitian
langsung terhadap manusia. Hasil dari penelitian dari hewan, memang diupayakan
untuk dicoba pada manusia. Tetapi hasil-hasilnya masih bervariasi. Sebagian
menunjukkan efek negatif MSG seperti pada hewan, tetapi sebagian juga tidak
berhasil membuktikan. Yang sudah cukup jelas adalah efek ke terjadinya migren
terutama pada usia anak-anak dan remaja seperti laporan Jurnal Pediatric
Neurology (Anonimous 2003).
Memang disepakati bahwa usia anak-anak atau masa
pertumbuhan lebih sensitif terhadap efek MSG daripada kelompok dewasa.
Sementara untuk efek terjadinya kejang dan urtikaria (gatal-gatal dan bengkak
di kulit seperti pada kasus alergi makanan), masih belum bisa dibuktikan.
World Health Organization (WHO) dan Food and Agricultural Organization (FAO) menyatakan bahwa ancaman potensial dari residu bahan makanan terhadap kesehatan manusia dibagi dalam 3 katagori yaitu :
1) aspek toksikologis, katagori residu bahan makanan yang dapat bersifat racun terhadap organ-organ tubuh,
2) aspek mikrobiologis, mikroba dalam bahan makanan yang dapat mengganggu keseimbangan mikroba dalam saluran pencernaan,
3) aspek imunopatologis, keberadaan residu yang dapat menurunkan kekebalan tubuh. Dampak negatif zat aditif terhadap kesehatan dapat secara langsung maupun tidak langsung, dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
World Health Organization (WHO) dan Food and Agricultural Organization (FAO) menyatakan bahwa ancaman potensial dari residu bahan makanan terhadap kesehatan manusia dibagi dalam 3 katagori yaitu :
1) aspek toksikologis, katagori residu bahan makanan yang dapat bersifat racun terhadap organ-organ tubuh,
2) aspek mikrobiologis, mikroba dalam bahan makanan yang dapat mengganggu keseimbangan mikroba dalam saluran pencernaan,
3) aspek imunopatologis, keberadaan residu yang dapat menurunkan kekebalan tubuh. Dampak negatif zat aditif terhadap kesehatan dapat secara langsung maupun tidak langsung, dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Pembahasan
Asam glutamat atau yang sering disebut dengan MSG
(Monosodium Glutamat) pada tahun 1940, asam glutamat telah digunakan di
berbagai macam jenis produk makanan di berbagai negara, khususnya dalam kurun
waktu 40 tahun terakhir. Asam glutamat merupakan salah satu dari 20 asam amino
yang ditemukan pada protein dan MSG merupakan monomer dari asam glutamat. MSG
memberikan rasa gurih dan nikmat pada berbagai macam masakan, walaupun masakan
itu sebenarnya tidak memberikan rasa gurih yang berarti. Penambahan MSG ini
membuat masakan seperti daging, sayur, sup berasa lebih nikmat dan gurih (Anonimous
2006).
MSG dijual dalam berbagai bentuk produk dan
kemasan, produk penyedap rasa seperti Ajinomoto atau Royco mengandung MSG
sebagai salah satu bahan penyedap rasa. Produk makanan siap saji, makanan beku
maupun makanan kaleng juga mengandung MSG dalam jumlah yang cukup besar. Selain
lada dan garam, botol berlabel penyedap rasa yang mengandung MSG juga dapat
dengan mudah ditemukan di rak bumbu dapur maupun di atas meja restoran.
Umumnya, Restoran Cina banyak menggunakan MSG untuk menyedapkan masakan-masakannya.
Walaupun sebagian besar orang dapat mengkonsumsi MSG tanpa masalah, beberapa orang memiliki alergi bila mengkonsumsi berlebihan yaitu gejala seperti pening, mati rasa yang menjalar dari rahang sampai belakang leher, sesak nafas dan keringat dingin. Secara umum, gejala-gejala ini dikenal dengan nama sindrom restoran cina.
Walaupun sebagian besar orang dapat mengkonsumsi MSG tanpa masalah, beberapa orang memiliki alergi bila mengkonsumsi berlebihan yaitu gejala seperti pening, mati rasa yang menjalar dari rahang sampai belakang leher, sesak nafas dan keringat dingin. Secara umum, gejala-gejala ini dikenal dengan nama sindrom restoran cina.
Asam glutamat dan gamma-asam aminobutrat
mempengaruhi transmisi signal didalam otak. Asam glutamat meningkatkan
transmisi signal dalam otak, sementara gamma-asam aminobutrat menurunkannya.
Oleh karenanya, mengkonsumsi MSG berlebihan pada beberapa individu dapat
merusak kesetimbangan antara peningkatan dan penurunan transmisi signal dalam
otak (Anonimous 2006).
Sejarah
Monosodium Glutamate (MSG) mulai terkenal tahun
1960-an, tetapi sebenarnya memiliki sejarah panjang. Selama berabad-abad orang
Jepang mampu menyajikan masakan yang sangat lezat. Rahasianya adalah penggunaan
sejenis rumput laut bernama Laminaria japonica. Pada tahun 1908, Kikunae Ikeda,
seorang profesor di Universitas Tokyo, menemukan kunci kelezatan itu pada
kandungan asam glutamat. Penemuan ini melengkapi 4 jenis rasa sebelumnya –
asam, manis, asin dan pahit – dengan umami (dari akar kata umai yang dalam
bahasa Jepang berarti lezat) (Anonimous 2006). Sebelumnya di Jerman pada tahun
1866, Ritthausen juga berhasil mengisolasi asam glutamat dan mengubahnya
menjadi dalam bentuk monosodium glutamate (MSG), tetapi belum tahu kegunaannya
sebagai penyedap rasa.
Sekarang ini MSG digolongkan sebagai GRAS
(Generally Recognized As Save) atau secara umum dianggap aman. Hal ini juga
didukung oleh US Food and Drugs Administration (FDA), atau badan pengawas
makanan dan obat-obatan (semacam Ditjen POM) di Amerika yang menyatakan MSG
aman. Tentu dalam batas konsumsi yang wajar (Anonimous 2003).
MSG Pembangkit Citarasa
Asam glutamat merupakan bagian dari kerangka utama
berbagai jenis molekul protein yang terdapat dalam makanan dan secara alami
terdapat dalam jaringan tubuh manusia. Beberapa diantara asam glutamat tersebut
terdapat dalam bentuk bebas, artinya tidak terikat dengan asam – asam amino
lainnya, tetapi masih terdapat dalam makanan. Hanya dalam bentuk bebas itulah
asam glutamat mampu berfungsi sebagai senyawa pembangkit citarasa makanan atau
masakan. Glutamat bebas tersebut dapat bereaksi dengan ion sodium (natrium)
membentuk garam MSG (Winarno 2004).
MSG yang banyak dijual di toko-toko, diproduksi
dalam skala komersial melalui proses fermentasi dengan menggunakan bahan mentah
pati, gula bit, gula tebu, atau molases (tetes). Begitupun, menyadari tingginya
konsumsi MSG di wilayah Asia, WHO menggunakan MSG untuk program fortifikasi
vitamin A. Di Indonesia pernah dilakukan pada tahun 1996. Juga, penggunaan MSG
bisa menjadi salah satu pilihan dalam menurunkan konsumsi garam (sodium) yang
berhubungan dengan kejadian hipertensi khususnya pada golongan manula. Hal ini
karena untuk mencapai efek rasa yang sama, MSG hanya mengandung 30% natrium
dibanding garam.
Glutamat Di dalam Tubuh
Glutamat diproduksi di dalam tubuh manusia dan
mempunyai peranan pentng di dalam proses metabolisme. Secara alami glutamat
ditemukan di otot, otak, ginjal, hati dan organ-organ lainnya termasuk juga di
dalam jaringan. Selain itu, glutamat juga ditemukan pada air susu ibu (ASI)
dengan tingkat 10 kali lipat dari yang ditemukan di susu sapi (Anonimous
2006).Rata-rata setiap orang mengkonsumsi glutamat antara 10 sampai 20 gram dan
1 gram glutamat yang bebas dari makanan yang kita makan setiap harinya.
Pada kebanyakan diet glutamat sangat cepat
dimetabolis dan digunakan sebagai sumber energi. Dari segi pandangan nutrisi,
glutamat termasuk non-essential amino acid, yang berarti bahwa tubuh kita dapat
memproduksi glutamate dari sumber protein yang lain, jika memang diperlukan
tubuh memproduksi sendiri glutamate untuk berbagai macam kebutuhan essential
(Anonimous 2006).
MSG dan Kesehatan Masyarakat
Pada tahun 1959, Food and Drug Administration di
Amerika mengelompokkan MSG sebagai ”generally recognized as safe” (GRAS),
sehingga tidak perlu aturan khusus. Kemudian pada tahun 1970 FDA menetapkan
batas aman konsumsi MSG 120 mg/kg berat badan/hari yang disetarakan dengan
konsumsi garam. Mengingat belum ada data pasti, saat itu ditetapkan pula tidak
boleh diberikan kepada bayi kurang dari 12 minggu (Anonimous 2003). Dari penelitian
yang telah dilakukan selama lebih dari 20 tahun oleh para scientis bahwa MSG
aman untuk dikonsumsi, sejauh tidak berlebihan termasuk pada wanita hamil dan
menyusui.
Pada wanita hamil dan menyusui
Hasil penelitian menunjukkan, glutamat hanya akan
menembus placenta bila kadarnya dalam darah ibu mencapai 40 – 50 kali lebih
besar dari kadar normal. Itu artinya mustahil kecuali glutamat diberikan secara
intravena. Sementara kalau ibu menyusui menyantap MSG 100 mg/kg berat badan,
mungkin kadar glutamat dalam darahnya akan naik, tetapi tidak dalam ASI.
Batasan aman yang pernah dikeluarkan oleh badan
kesehatan dunia WHO (World Health Organization), asupan MSG per hari sebaiknya
sekitar 0-120 mg/kg berat badan. Jadi, jika berat seseorang 50 kg, maka
konsumsi MSG yang aman menurut perhitungan tersebut 6 gr (kira-kira 2 sendok
teh) per hari. Rumus ini hanya berlaku pada orang dewasa. WHO tidak menyarankan
penggunaan MSG pada bayi di bawah 12 minggu (Anonimous 2001).
Efek Bahaya dari Penggunaan MSG :
A.
Chinese Restaurant Syndrome
Tahun 1968 dr. Ho Man Kwok
menemukan penyakit pada pasiennya yang gejalanya cukup unik. Leher dan dada
panas, sesak napas, disertai pusing-pusing. Pasien itu mengalami kondisi ini
sehabis menyantap masakan cina di restoran. Masakan cina memang dituding paling
banyak menggunakan MSG. Karena itulah gejala serupa yang dialami seseorang
sehabis menyantap banyak MSG disebut Chinese Restaurant Syndrome.
Bagaimana sampai MSG bisa
menimbulkan gejala di atas, masih dugaan sampai saat ini. Tetapi diperkirakan
penyebabnya adalah terjadinya defisiensi vitamin B6 karena pembentukan alanin
dari glutamat mengalami hambatan ketika diserap. Konon menyantap 2 – 12 gram
MSG sekali makan sudah bisa menimbulkan gejala ini. Akibatnya memang tidak
fatal betul karena dalam 2 jam Cinese Restaurant Syndrome sudah hilang.
B.
Kerusakan Sel Jaringan Otak
Hasil penelitan Olney di St.
Louis. Tahun 1969 ia mengadakan penelitian pada tikus putih muda. Tikus-tikus
ini diberikan MSG sebanyak 0,5 – 4 mg per gram berat tubuhnya. Hasilnya
tikus-tikus malang ini menderita kerusakan jaringan otak. Namun penelitian
selanjutnya menunjukkan pemberian MSG yang dicampur dalam makanan tidak
menunjukkan gejala kerusakan otak.
Asam glutamat meningkatkan
transmisi signal dalam otak, gamma-asam aminobutrat menurunkannya. Oleh
karenanya, mengkonsumsi MSG berlebihan pada beberapa individu dapat merusak
kesetimbangan antara peningkatan dan penurunan transmisi signal dalam otak
(Anonimous 2006).
C.
Kanker
MSG menimbulkan kanker betul
adanya kalau kita melihatnya dari sudut pandang berikut. Glutamat dapat
membentuk pirolisis akibat pemanasan dengan suhu tinggi dan dalam waktu lama.
pirolisis ini sangat karsinogenik. Padahal masakan protein lain yang tidak
ditambah MSG pun, bisa juga membentuk senyawa karsinogenik bila dipanaskan
dengan suhu tinggi dan dalam waktu yang lama. Karena asam amino penyusun
protein, seperti triptopan, penilalanin, lisin, dan metionin juga dapat
mengalami pirolisis dari penelitian tadi jelas cara memasak amat berpengaruh.
D.
Alergi
MSG tidak mempunyai potensi untuk
mengancam kesehatan masyarakat umum, tetapi juga bahwa reaksi hypersensitif
atau alergi akibat mengkonsumsi MSG memang dapat terjadi pada sebagian kecil
sekali dari konsumen. Beberapa peneliti bahkan cenderung berpendapat nampaknya
glutamat bukan merupakan senyawa penyebab yang efektif, tetapi besar
kemungkinannya gejala tersebut ditimbulkan oleh senyawa hasil metabolisme
seperti misalnya GABA (Gama Amino Butyric Acid), serotinin atau bahkan oleh
histamin (Winarno 2004).
KESIMPULAN
MSG memberikan rasa gurih dan nikmat pada berbagai
macam masakan, walaupun masakan itu sebenarnya tidak memberikan rasa gurih yang
berarti. MSG aman dikonsumsi sejauh tidak berlebihan. Meski dinilai aman, MSG
hendaknya tidak diberikan bagi orang yang tengah mengalami cidera otak karena
stroke, terbentur, terluka, atau penyakit syaraf. Konsumsi MSG menyebabkan
penumpukan asam glutamat pada jaringan sel otak yang bisa berakibat kelumpuhan.
Batasan aman yang pernah dikeluarkan oleh badan kesehatan dunia WHO (World
Health Organization), asupan MSG per hari sebaiknya sekitar 0-120 mg/kg berat
badan.
Sumber :